Monday 21 September 2015

Hak Hak Wanita Dalam Islam



 bismillahirrahmanirrahim.
usrah kali ni tajuk ''Hak-hak wanita dalam Islam''

Sesungguhnya Islam menempatkan wanita pada posisi yang tinggi dan sejajar dgn lelaki. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeza, krana lelaki dan wanita hakikatnya adalah makhluk yang berbeza. Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yang menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.” Benarkah? Semak kupasannya!

Suatu hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita, dari semula makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia”, diinjak-injak kehormatan dan harga dirinya, kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah l yang telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.

Keterangan ringkas yang akan dibawakan, sedikitnya akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita, sejak mereka dilahirkan ke muka bumi, dibesarkan di tengah keluarganya sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.

1. Pada zaman kanak kanak
Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup hidup krana keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntut manusia untuk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang ingin melaksanakannya. Rasulullah SAW dalam sabdaNya:

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ (وَضَمَّ أَصَابِعَهُ)

“Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia seperti dua jari ini.” . Beliau menggabungkan jari jemarinya. (HR. Muslim no. 6638 dari Anas bin Malik r.a)

Aisyah r.ha berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa apa yang dapat ku sedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibaginya untuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tak berapa lama masuklah Rasulullah SAW. Ku ceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:

مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

“Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak anak perempuannya lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api neraka.” (HR. ِAl-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636)

Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah SAW menyebutnya dengan ujian (ibtila`), karena manusia biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih memilih anak lelaki), sebagaimana Allah ta’ala berfirman tentang kebiasaan orang orang jahiliah:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

“Apabila salah seorang dari mereka diberi khabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak krana buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berfikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)

Hadis hadis  yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/395)

Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bahagian dari harta warisan.

2. Dalam masalah pernikahan
Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Beberapa hadis di bawah ini menjadi bukti:

Rasulullah SAW bersabda:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” 

Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis?” .

“Izinnya adalah dengan ia diam”,  jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah r.a)

Aisyah r.ha berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan).” 

Beliau menjelaskan, “Tanda redhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5137)

Khansa bintu Khidam Al-Anshariyyah mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi SAW hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Al-Bukhari no. 5138)

Hadis di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka maka pernikahan itu tertolak.

Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri Ja’far merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar, ‘Abdurrahman dan Majma’, keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata, “Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayahnya dalam keadaan ia tidak suka, Nabi SAW menolak pernikahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6969)

Buraidah ibnul Hushaib mengabarkan:

جَاءَتْ فَتَـاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلْآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ

“Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah SAW dalam rangka mengadu, ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’, ujarnya. Nabi SAW menyerahkan keputusan padanya (apakah meneruskan pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, ‘Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahawa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikit pun dalam memutuskan perkara seperti ini’.” (HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadit dalam Al-Jami’ush Shahih (3/64), “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)

Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita krana Allah menjadikan wanita sebagai penenang bagi suaminya dan Allah menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. Maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai isteri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu bila demikian keadaannya, sampai bila pernikahan itu akan bertahan dengan tenang dan tenteram?
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak si wanita, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keredhaannya.

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada para wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebahagian dari mahar tersebut, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/17)

3. Sebagai Seorang Ibu

Islam memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika remajanya dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah titahkan hal ini dalam TanzilNya setelah mewajibkan ibadah hanya kepadaNya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Rabbmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepadaNya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orang tua. Apabila salah seorang dari keduanya atau kedua duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘AH’ dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, ucapkanlah doa, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.” (Al-Isra`: 23-24)

Allah juga berfirman:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا

“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)

Ketika shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud r.abertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ…

“Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah SAW menjawab, “Solat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” tanya ‘Abdullah lagi. Kata beliau, “Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)….” (HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248)

Kata Abu Hurairah r.a-seorang sahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya-, “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ

“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” 
Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. 
“Ibumu,” jawab beliau. 
Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?”.
“Ibumu.” 
“Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. 
“Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Hadis di atas menunjukkan pada kita bahawa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut, kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz. (Fathul Bari, 10/493)

Islam mengharamkan seorang anak berbuat derhaka kepada ibunya sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabda beliau:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ…

“Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat derhaka kepada para ibu…” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)

Al-Hafizh menerangkan, “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadis ini krana perbuatan derhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada ayah.” (Fathul Bari, 5/86)

Sampai pun seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir, tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadis Asma` bintu Abi Bakr r.ha. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan Rasulullah SAW. Aku pun bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?”.
Beliau menjawab, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 5979)

4. Sebagai Isteri

Allah memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa`: 19)

“Ayat Allah l وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Krana itu, sepantasnya seorang suami mempergauli isterinya dengan cara yang ma’ruf, menemani, dan menyertai (hari hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian, dan semisalnya. Dan tentunya pemenuhannya berbeza beza sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para suami:
لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ

“Janganlah kalian memukul hamba hamba perempuan Allah.”
‘Umar ibnul Khaththab r.a datang mengadu, “Wahai Rasulullah, para isteri berbuat derhaka kepada suami suami mereka.”.
Mendengar hal itu, Rasulullah SAW memberi keringanan untuk memukul isteri bila berbuat derhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui isteri isteri Rasulullah SAW untuk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah SAW bersabda:

لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ

“Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2145)

Beliau SAW juga pernah bersabda:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik baik kalian adalah yang paling baik terhadap isteri isterinya.” (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)

Banyak hak yang diberikan Islam kepada isteri, seperti suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap isterinya, ia berhak memperoleh nafkah, pengajaran, penjagaan dan perlindungan, yang ini semua tidak didapatkan oleh para istsri di luar agama Islam.

Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita jelas sangat tinggi.

Wallahul musta’an.

2 comments: